Satu saat saya contact seorang teman lama. Dia tinggal dan menetap di Atlanta,Georgia. Biasa, namanya sahabat, tanya kabar. Tanya tentang anak, keluarga dan lain-lain.
" Eh, Kevin udah Mid School ya? Gimana sekolahnya?" Saya teringat anak dia yang dulu lucu, dan sekarang udah SMP.
" Iya mas, dia udah Mid Shool, tapi lagi kena Skor selama seminggu, " Ucapnya.
" Lho, kenapa?"
" Dia ngatain temennya, Negro. "
" Yang dikatain orang kulit hitam atau kulit putih?" Canda saya.
" Ya kulit hitam lah!"
" Lha kulit hitam kok dikatain Negro nggak boleh..." Balas saya.
" Hey, Mas! Sampean itu dari dulu nggak hilang-hilang raisnya. Itu nggak boleh menyebut orang berdasar suku, warna kulit, adat. Pokoknya nggak boleh!" Labraknya pura-pura sewot.
" Hahahahah.." Saya hanya terkekeh. Saya ingat sahabat yang lawan jenis saya ini. Saya ingat, mungkin dulu sewaktu masih tinggal di Indo anaknya sering dikatain 'Cina' sama teman sepermainannya.
Mungkin juga si anak lantas membalas, " Hey jawa!"
Atau mungkin, " Dasar madura!"
Dan si anak akan mendapat balasan lebih sadis, " Cina, Loe! Kristen, Kafir! Numpang di negeri kami! "
Itu sekelumit dari sekian banyak tindakan raisme.
Oups! Salah, rasisme.
O ya, kalimat sahabat saya yang menyebut saya 'rais", bukan typo. Tapi emang kayak gitu nulisnya.
Kembali ke masalah rasisme.
Di negeri ini betapa banyak contoh kasus rasisme yang dibuat seolah hal biasa. Bukan satu pelanggaran etika, apalagi hukum. Rasisme suatu hal yang lumrah dari puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
Semua berkat politik De Vide Et Empera yang digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk memecah belah persatuan.
Nah, kalau udah kayak gini Belanda lagi kan yang disalahkan?
Abis mau nyalahin siapa?
Mau nyalahin Pribumi? Pribumi yang mana? Semua yang lahir disini adalah pribumi!
Warga asli?
Warga asli yang mana? Kalau you ngerasa berkulit coklat, kuning, bermata cenderung sipit, yang biasanya disebut ras Mongoloid, bukan pribumi! Kalau acuan pribumi atau non pribumi adalah pendatang.
Kita semua pendatang, nenek moyang kita orang-orang semenanjung China selatan.
Kalau itu acuannya, berbanggalah saudara kita yahg berkulit lebih gelap, berambut keriting. Itu suku asli. Warga negroid.
Itu suku asli bumi pertiwi ini.
Kita ini sejak kecil sudah biasa berlaku atau berkata-kata rasis.
Kita sudah terbiasa ditunjukkan pada hal-hal rasis.
Waktu saya kecil, tiap kali kakek saya pergi ke kota untuk belanja sesuatu, pasti bilangnya, " Belanja ke toko cina."
Tiap kali cina, pasti dianggap punya toko, atau usaha apapun yang intinya mempekerjakan orang Jawa.
Maka muncul stigma bahwa orang jawa kodratnya hanya sebagai kacung. Maka muncul stigma bahwa orang Cina adalah kaya, dan Jawa miskin.
Dan disitu tercipta satu gap antara Cina dan Jawa. Cina dianggap non Pribumi, Jawa dianggap Pribumi. Cina dianggap hanya 'numpang', dan Jawa sebagai pemilik tanah ini, negeri ini.
Dan rasa kecemburuan sosial itu makin lama makin besar. Muncul pula istilah 'kita ini hanya jongos Cina'. Jongos di negeri sendiri.
Bukan hanya dua suku itu yang kita ambil contoh. Sama suku lain juga gitu.
Kalau ada yang jual beli barang bekas, kita anggap dia etnis Madura. Maka setiap ketemu orang yang jual beli barang bekas, enteng aja kita sebut dia, " Hey madura!"
Bahkan sampai sekarang di Ibukota ini enteng aja orang panggil orang lain dari nama sukunya.
Saya punya teman, namanya Sandi. Bapaknya orang Batak, emaknya orang Betawi. Supaya gampangnya, orang sekitar panggil si Sandy dengan sebutan, " Batak!"
Saya pernah tanya alasannya ke seorang teman yang lain, kenapa ( Sandy) dipanggil 'Batak' ?
" Kan bapaknya emang orang Batak. Namanya Sandy Nasution. Tapi kau lihat mukanya yang jelek itu, pantas nggak dia dipanggil Sandy? Lebih gampangnya dipanggil aja Batak, kan..."?
Saya hanya geleng-geleng kepala.
Yang lebih sadis, tiap kali ada orang berkulit gelap, maka cap 'Ambon' bakal gampang melekat, sekalipun yang bersangkutan bukan berasal dari Maluku.
Lihat, semua sudah diajarkan rasis sejak dini. Semua sudah membedakan suku, ras, adat, serta Agama sejak dini.
Semua serba pengin mengkotak-kotakan diri pada rasa kesukuan.
Jadi mari, kita instrospeksi diri. Jangan saling tunjuk hidung soal rasisme dan intoleran.
Kita mulai dari sekarang rasa kebangsaan seperti pada saat Sumpah pemuda di kumandangkan. Bahwa kita satu bangsa, Bangsa Indonesia. Bahwa kita satu bahasa, bahasa Indonesia. Bahwa kita satu tanah air, Indonesia pula.
Jangan pandang manusia Indonesia lain berdasarkan Agamanya. Jangan bedakan manusia Indonesia lain dari suku dan warna kulitnya.
Jangan bedakan Manusia Indonesia lain dari adat istiadatnya. Semua satu, Indonesia!!!