Vivi mempercepat jalannya. Berkali-kali Allan memanggil-manggil namanya, tapi tak di hiraukannya teriakan cowoknya itu. Hatinya terlanjur kesal dan jengkel.
" Vivii..tungguuu!!!" Vivi malah berlari. Disembunyikannya isaknya dibalik diktat-diktatnya.
Sesampainya di tempat parkir, segera di gebernya Peugeot 206 merah jambu kesayangannya. Dan menghilang dari halaman kampus setelah meninggalkan debu-debu tipis. Dari kaca spion mata Vivi sempat melirik Allan yang berusaha mengejarnya. Tapi hanya sekelebat. Karena sebentar kemudian mobil mungil itu sudah melesat membelah keramaian kota.
Tinggallah Allan yang terngah-engah dan gontai menuju sebuah Wrangler Hitam yang tadi parkir di samping Peugeot 206 Merah si Vivi.
Allan terduduk di belakang stir. Wajah badung yang nggak pernah kelihatan sedih itu kini kelam. Beberepa sapaan staff kampus di acuhkan. Tiba-tiba, " Al.."
Suara lembut itu membuatnya menoleh. Lina, anak Om Tony, pemilik team balap tempat Allan membalap. Allan memang pembalap Roadrace, selain bekerja sebagai programmer kontrakan di kampus Vivi,kampus biru yang mempertemukan mereka hingga terjalin hubungan kasih,tempat mereka merajut benang-benang cinta.
" Kalian bertengkar lagi ya? " Tanya lina. Allan tidak menjawab.
" Saya nggak tahu lagi mesti bagai mana Lin. Di satu sisi aku memang cinta banget ama dia. Tapi disisi lain aku nggak bisa nglepasin diri dari balapan.Satu hal lagi, aku nggak butuh nasihat-nasihatnya," Allan mendesah. Tangannya meraih rokok yang terletak diatas dashboard. Lina bersandar disisi mobilnya.
" Kamu masuk aja Lin, kita pulang bareng sambil ngobrol. "
Setelah Lina masuk, Allan memandang Lina sebentar. Wajah itu begitu lembut. Ah, seandainya belum ada Vivi dihatinya..Allan berandai-andai.
" Menurut kamu gimana Lin? "
" Tentang kalian maksudmu? "
" Yeahhh…" Jawaban Allan mirip desah berat.
" Aku nggak bisa ngomong Al.." Wajah Lina tampak putus asa. Dia memang kelewat peduli untuk ukuran teman.
" Kalian sama-sama mempertahankan keinginan masing-masing, tanpa ada yang mau mengalah.." Lanjut Lina.
" Menurut kamu, siapa yang seharusnya mengalah? "
Lina angkat bahu, " Kalian seharusnya yang lebih tahu kan? Saya rasa Vivi punya satu alasan yang kuat, kenapa dia melarang kamu membalap. Begitu juga kamu.."
" So? "
" Ya kalian omongin lagi lah! gimana enaknya, " saran Lina.
" Berkali-kali kami ngomongin masalah ini Lin, tapi selalu saja buntu, berakhir bertengkaran malah. "
" Al, kasih itu tanpa syarat, tidak cemburu, dan mau menerima apa adanya. Apa kalian sudah memikirkan hal itu? " Nasihat Lina seraya ngelonyor meninggalkan Allan seorang diri.
Allan menghidupkan mesin mobil, memindah persneling ke gigi satu lalu cabut. Diiringin tembang-tembang cadas tapi manis dari Meatloaf, seperti biasanya. Tak sampai setengah jam Allan sudah sampai di depan rumahnya. Matanya sempat melirik mamanya ketika Allan memasukkan mobil ke garasi.
Biasa, orang yang melahirkannya itu sibuk membaca tips-tips kecantikan dari sebuah majalah wanita.Bah!
Allan melintas pelan disampingnya, " Allan.."
" Ya ma? "
" Bagaimana Visa kamu? Udah kelar ngurusnya? "
" udah dari kemarin ma, " Jawab Allan tanpa menoleh.
" Lantas, kapan kamu berangkat ke Salzburg? "
" Besok. "
" Begitu mendadak-kah? Vivi sudah tahu? "
" Allan belum ngasih tahu, ma. Nanti mungkin.. " Allan membalikkan badannya menuju teras, duduk disamping mamanya.
" Jangan lama-lama disana, nanti Vivi kangen. Lagian, ngapain nungguin papamu lama-lama, kan ada mama tiri kamu yang setia menemani, juga adik tiri kamu, " Dari nada bicara mamanya, kelihatan kalo wanita setangah baya itu memendam rasa cemburu.
" MA, mama takut kalo Allan meninggalkan mama ya? " Pancing Allan.
Mama tidak menjawab. Allan melirik sebentar. Kelihatan dari mata mama yang sedang diarahkan ke majalah itu. Ada pancaran yang kurang mengenakkan disana. Allan melirik sekali lagi. Ah, ternyata mata mamanya berair. Allan merangkul pundak mamanya.
" MA, Allan sayang banget deh sama mama, dan berjanji tak akan meninggalkan mama. Ma, Allan tadi habis berantem sama Vivi. "
Kali ini mama ternhenyak kaget, " Kenapa lagi Allan? Kalian gimana sih, tiada hari tanpa berantem? " Mama melepas kacamata bacanya.
Allan mendesah sambil angkat bahu.
" Kami sendiri juga tidak tahu ma, kenapa mesti begini jadinya. Tiap kali kami membicarakan hal itu, pastilah pertengkaran yang terjadi, " Allan putus asa.
" Membicarakan apa? Balapan ya? Mama kan udah bilang dari awal, bukannya kami tidak setuju kalo kamu balapan, tapi apa kamu sudah memikirkan sekali lagi jalan hidup yang kamu pilih itu. Sampai kapan kamu akan terus-terusan begini. Ngapain kamu kuliah jauh-jauh di Jerman, kalo balik kesini hanya untuk jadi pembalap. Perhatikan masa depan kamu nak. Apalagi udah jelas-jelas vivi nggak setuju kalo kamu terus menyabung nyawa, " Suara mama memelas.
" Ma! dari dulu, waktu Allan masih kecil, sebelum mengenal Vivi, balapan sudah mendarah daging, dan Allan nggak akan bisa melepaskan balapan dengan alasan apapun. Apalagi Allan kan menjadikan balapan sebagai hobby, profesi sampingan. Allan sadar ma, balapan di Indonesia tercinta ini nggak punya prospek bagus! "
" Termasuk jika kamu kehilangan Vivi kamu? Niech..niech…mama juga sayang sama dia, anak perempuan mama satu-satunya, kakakmu, sudah menikah, dan mama pengin kehadiaran anak perempuan lagi. Mama rasa Vivilah orang yang cocok. Untuk jadi anak mama, untuk menjadi pendamping kamu, dan untuk melahirkan cucu-cucu mama nanti., Daripada kamu balapan, buang-buang waktu, lebih baik kamu menuruti anjuran Om Teddy. Buka software house sendiri. " sergah mamanya.
" MA, Allan belum berfikir sejauh itu. Allan masih belum bisa diajak ngomong masalah itu. "
Pertengkaran ibu dan anak itu tidak akan berakhir kalau Allan tidak ngelonyor masuk kamar. Dalam kamar cowok coklat itu hanya bisa memandangi langit-langit kamar
Sebentar kemudian mata Allan redup, ngantuk. Tapi tiba-tiba Hpnya berbunyi, dering SMS. ‘ Nanti kita keluar ya Al..aku jemput kamu jam enam. Sorry, aku tadi marah sama kamu..’
Dari Vivi rupanya. Allan melenguh capek.
Pas sorenya, Vivi benar-benar datang. Sementara Allan belum mandi. Vivi hanya tersenyum manis waktu ngeliat Allan sedang mencuci Wrangler kesayangannya.
" Al…" panggilnya. Allan menoleh sebentar, lalu meletakkan lap di bak samping mobil. Dengan ogah-ogahan Allan menghampiri Vivi yang sudah duduk di kursi teras. Seulas senyum manis Allan mengembang sambil menatap lembut sang pujaan hati.
" jadi kita pergi malam ini? " Tanya Allan sambil duduk disamping Vivi, tangannya di lingkarkan ke pundak Vivi. Cewek itu menepis dengan halus. Takut kotor mungkin, pikir Allan.
" Kamu mandi sono gih, baru kita nongkrong di kafe sambil ngobrol, oke? "
Allan pergi mandi. Sembari menunggu Allan selesai mandi, Vivi gelisah. Sebentar-sebentar membetulkan letak duduknya yang sebetulnya sudah betul. Sebentar-sebantar menghela nafas berat. Seperti ada beban berat yang di rasakan gacoan Allan itu.
Tak lama kemudian Allan muncul. Wajahnya tampak segar. Jean belel dan kaos oblong abu-abunya tampak pas untuk tubuh Allan yang agak-agak kurus itu. Tampak lebih macho. Vivi terpesona sebentar. Tapi sebentar wajahnya berubah agak aneh. Allan tak sempat memperhatikan perubahan itu.
Sebelum berangkat Allan sempat menengadahkan wajahnya ke langit. Mendung gelap.
" Sebentar lagi mungkin akan hujan Vi.." Ucapnya tanpa memandang Vivi. Lalu mereka pergi dengan mengendarai mobil Vivi.
Tak seberapa lama kemudian mereka telah duduk di sebuah kafe tua, peninggaln jaman Belanda. Kafe Oen namanya. Terletak di jantung kota Apel, dengan interior klasik, khas Belanda. Mereka memilih duduk di sudut. Mata Vivi memandang keluar sejenak, pas tanpa sengaja bersitatap dengan mata Allan.
" Kamu pesan apa Al? " Vivi buka bicara.
" Mmmm…terserah kamu deh. "
Vivi memanggi pelayan dan memesan dua milkshake coklat. Setelah pelayan pergi, Vivi menghela nafas. Seolah ingin mengatakan sesuatu.
" Wanna tell me anything, honey? " Ucapan Allan terdengar mesra.
" Iya…." Vivi membetulkan letak duduknya.
" Tell me please, tentang apa sih Vi, kok kayaknya serius banget? " Allan jadi penasaran.
" ‘Bout Us of course! " Tiba-tiba Vivi ketus, Allan tersentak. Baru saja Allan hendak bicara, ketika pelayan restoran datang. Allan menahan diri sebentar.
" Terima kasih, " Ucap Allan kepada pelayan sambil tersenyum ketika pelayan itu meletakkan dua minuman ke meja mereka.
Allan lalu memperhatikan wajah Vivi yang merengut.
" Al..sebenarnya kamu anggap aku apa sih selama ini? "
" Lho..bukankan kita udah komitmen untuk pacaran, emang kamu lupa, dua tahun lalu, ketika baru lulus SMU, tus pas acara perpisahan di bawah sinar rembulan itu, aku ucapkan janji…"
" Cukup! " Pangkas Vivi. Allan terdiam tak mengerti.
" Al, kalo model pacaran seperti ini yang kamu mau, lebih baik kita sudahi saja semuanya. Aku selalu sakit hati ama kamu, tahu nggak? Setiap kali aku ngomong, setiap kali aku nasihatin kamu, selalu saja kamu bersilat lidah, selalu saja kamu mencari-cari bahan pertengkaran! Aku sudah bosan Al, bosan..bosan! " Saking kesalnya, kalimat Vivi jadi seperti dialog-dialog di telenovela, diulang-ulang terus. Airmata cewek berambut sebahu itu meleleh.
" So? "
" Kita sudahi saja semuanya, dan mulai sekarang kita berteman saja, " Vivi mengusap airmatanya. Allan tergugu di depannya. Sementara hujan mulai turun, awalnya rintik, tapi lama-kelamaan jadi deras. Allan memandang luar sebentar, lalu angkat kaki. Vivi yang nggak menyangka Allan bakal nekat jadi terhenyak kaget. Padahal luar sana hujan deras. Sementara Vivi tahu, Allan orangnya paling rentan kalo kena hujan, udah pasti demam. Buru-buru Vivi membayar bill mereka dan lari keluar menyusul Allan. Tapi Allan sudah menghilang. Vivi berlari menuju tempat parkir lalu menyisir jalan mencari Allan. Tapi yang di cari di di ketemukannya juga.
Esoknya Vivi agak telat bangun, semalaman dia mencurahkan air matanya keatas bantal. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada foto Allan yang lagi ngeceng di depan Mc laren -mercedez. Foto kenang-kenangan waktu Allan nonton balapan Ke Melbourne setahun lalu. Vivi menepuk jidatnya. Buru-buru diraihnya ponsel yang terletak diatas meja, mencoba menghubungi Allan, tapi tidak aktif. Lalu mencoba menelpon rumah Allan.
" Hallo, tante, Allan-nya udah bangun, " Ucap Vivi tanpa ba-bi-bu.
" Lho, emang nggak bilang pamit ke kamu? Allan kan ke Austria, jenguk papanya. Kemarin sudah tante wanti-wanti supaya pamitan ke kamu. Gimana sih nih anak, senengnya bikin bingung orang saja.."
" berangkatnya sih setengah jam yang lalu. "
" Terimakasih tante…." Vivi mentutup pembicaraan.
Tak lama kemudian hape Vivi berdering. Jantung cewek itu berdegup, mengira Allan yang telpon. Tapi dia harus kecewa, karena di yang muncul dilayar nama Lina.
" Selamat pagi nona manis.." Sapa Lina akrab dan mesra, mereka emang bersahabat.
" Pagi Lin, kok tumben telpon..?"
" Hmmm….emang nggak boleh? Heheheh…Vi, kamu udah ketemu Allan? " Perntanyaan Lina membuat jantung Vivi makin kencang berdegub.
" Itulah Lin, semalam kami bertengkar lagi. Dia meninggalkanku sendiri di Oen* semalam. Waktu aku kejar dia udah nggak ada.. " Airmata Vivi meleleh lagi mengingat kejadian semalam.
" Vi…semalam Allan kesini naik taksi. Dia udah cerita segalanya tentang kalian. "
" Trus? "
" Kasihan Allan…dari kecil harus hidup hanya diasuh oleh mamanya, sementara papanya jauh. Dia butuh seorang teman, bukan hanya untuk menasihatinya, tapi juga juga untuk mendengar cerita-ceritanya, mengakui keberadaannya. Kamu tentu tahu maksudku kan Vi? "
" Saya berharap, ini bukan sindiran kan Lin? " Vivi membalik pertanyaan Lina.
" Anything lah…tapi yang jelas selama ini tidak mendapatkan apa yang diinginkan….dan dia terus-menerus mencari sesuatu itu…"
" Kalo boleh tahu, apa itu Lin? "
" Aku harap ini bukan kamu anggap sindiran lagi Vi.." Di sebrang terdengar Lina mendesah resah, prihatin dengan apa yang dialami Allan, sahabatnya. Dan kini dia juga harus memberi jawaban yang tepat untuk sahabatanya yang satunya lagi yang juga pacar Allan.
" Hmmm…tell me now sister.." Pinta Vivi.
" Dia sayang sama kamu, dia sangat takut kehilangan kamu. Tapi disisi lain dia nggak mau kamu kekang, dia mau kamu menjadi pendengar untuk cerita-ceritanya. Apa-apa yang dialaminya ketika balapan. "
Vivi terdiam, merasa sangat berdosa sekali. Kini Vivi sadar, selama ini terlalu mengekang Allan.
" Vi, " Lanjut Lina, " Kamu tahu nggak arti seorang ayah bagi cowok macam Allan? "
" Tidak. "
" Teman, sahabat tepatnya. Ingat Vi, dia sendirian. Mamanya selalu sibuk. Saudara satu-satunya sudah menikah. Adik tirinya jauh diujung sana. Dia butuh teman, bukan penasihat, " Belum sempat Lina menlanjutkan kelimatnya, Vivi keburu menutup telepon dan berlari dengan airmata bercucuran.
Selanjutnya Vivi menggeber Peugeot 206nya menuju Bandara. Dalam sekejab mobil Vivi telah memasuki area parkir bandara. Cewek semampai itu berlari-lari kecil menuju terminal keberangkatan luar negeri.
Agak terlambat, karena begitu menginjakkan kakinya di lantai bandara, Allan sudah Check-in. bagaikan adegan sinetron, Vivi menerobos petugas imigrasi untuk menyusul Allan, tapi lajunya tertahan dua pasangan tangan kokoh sang petugas, " Hei..Nona mau kemana?! " Hardik petugas itu. Vivi berangsur mundur. Allan yang mendengarkan hardikan itu menoleh ke belakang.
Cowok coklat itu tersenyum manis, lalu memberi isyarat dengan mengacungkan ponselnya. Tak lama ponsel Vivi memang berdering, Allan menjauh tanpa melihat Vivi lagi.
" Vi…sorry, aku selalu membuat kamu kesal. Dan aku meminta maaf kalo aku sampai lupa memberi tahu kamu, bahwa aku mau ke Austria. .." Allan menunggu reaksi Vivi, tapi yang terdengar malah isakan tangis Vivi.
" Vi, aku tidak akan lama kok, toh kamu nggak mengharapkanku lagi kan, dan waktu akan begitu terasa cepat berlalu, sampai tak terasa nanti aku akan kembali lagi, untuk meneruskan persahabatan kita…"
Sejenak Vivi berfikir, sengajakah Allan merobek-robek hatinya untuk membalas dendam semalam? Sudah tahu dirinya menangisi dirinya malah ngomongin yang tidak-tidak.
" Al, tolong dengar saya sebentar.." Vivi terdiam, menyusun kata-kata, " Taukah kamu, apa yang aku lakukan selama ini? Tahukah kamu, bahwa aku selama ini sudah tidak tahu lagi dengan cara apa aku harus mencurahkan rasa sayangku terhadapmu.." Kali ini Allan yang terhenyak kaget. Tanpa sepengetahuan Vivi. Dan Vivi terus saja mencecarnya dengan kata-kata yang menyadarkan Allan, bahwa betapa Vivi sayang padanya.
" Vi, udah dulu ya..pesawat udah mau berangkat, " potong Allan, " Dan ketika aku pulang nanti, aku tidak mau melihat kamu, sahabatku, murung lagi. Aku mau melihat senyummu yang seperti dulu lagi. Ketika pertama kali kita bertemu. Oke? "
Vivi tidak merespon kalimat Allan. Airmatanya bercucuran. Beberapa sosok memandangi mereka heran. Baik Allan maupun Vivi tak peduli lagi. Hati mereka sama-sama hancur. Vivi menutup telepon sambil matanya masih memandang Allan di seberang sana. Terlihat senyuman manis Allan.
Cowok itu melambaikan tangan. Dari bibirnya yang tergerak terlihat seolah mengucapkan " Auf Wiedersehen". Tapi tentu saja cewek berlesung pipit itu tidak bisa mendengar.
Setelah itu Vivi berlari menuju pelataran parkir. Masuk Peugeot 206 merahnya dan menunpahkan air matanya sejadi-jadinya. Terdengar deru pesawat yang sedang take-off. Vivi memandang angkasa dengan seksama. Sebuah burung besi bertuliskan Lufthansa terbang membawa Allan, dari bibir Vivi terdengar gumaman pelan, " Auf Wiedersehen Allan, my lovely friend.."
*Sebuah kafe dan ice cream palace di kota malang, bergaya arsitek Belanda, peninggalan tahun 1928