Hanya tulisan Retjeh...

Balada Si Alan II - From Salzburg with love

Delapan jam yang melelahkan. Allan harus duduk manis di perut burung besi. Dengan ruang gerak yang terbatas. Maka sesampainya di Frankfurt international Airport langsung saja menuju stasiun kereta yang menuju Salzburg, sebuah kota kecil di sebelah tenggara Austria. Tempat Papa dan mama tirinya bermukim. Sengaja Allan memilih turun di Frankfurt, bukan Wina. Sebab niatnya mau sekalian jalan-jalan sekalian di Frankfurt. Tapi niatnya diurungkan, pas dia duduk di seat pesawat tadi. Rasa kangennya pada papanya sudah tak bisa dibendung lagi.
Tak memerlukan waktu lama untuk menunggu kereta yang menuju kesana.
Begitu duduk dalam kereta, Allan langsung memejamkan matanya. Tapi kepalanya yang sakit akibat jetlag membuatnya harus terjaga. Sehingga Allan tampak terus-menerus gelisah. Sebuah colekan tukang karcis mengagetkannya, " Excusme…the ticket.." Sapanya Sopan kepada Allan.
Selesai meladeni tukang karcis Allan mencoba lagi memejamkan mata. Tapi sebuah colekan kembali mengagetkannya. Allan sedikit kesal, dikira ada orang yang main-main. Di toleh orang yang duduk disebelah kirinya. Sedang memejamkan mata. Mencoba tidur juga mungkin. Allan kesal. Tak ada tanda-tanda orang itu iseng.
" Hmm..hmm..! " Terdengar suara dehem di belakang Allan. Sontak Allan memutar kepalanya ke belakang. Sesosok manis berusaha menahan senyum yang juga manis di bibir merah tanpa lipstick.
" Oh my God! Are you Kei?! " Mata Allan mendelik begitu ingat tahi lalat disisi bibir yang membuatnya tampak lebih manis itu.
Yup! Dia Kei, seorang keturunan Jepang yang dikenal Allan waktu masih Es-Em-U. Ketika papanya membawa berkunjung ke Salzburg untuk yang pertama kali. Tapi Kei pura-pura cuek, " Hey! Are you kei? "
" Think by your self. Masak sama teman kecil lupa.." Cewek itu pura-pura cemberut. Dan..oups! Wajah itu manis sekali. YA, Allan yakin sekali. Logat inggrisnya yang lucu, masih khas seperti dulu.
" Hahahahh..at last, we meet again! " Allan tertawa senang.
" Kamu sih, nggak pernah muncul-muncul. Tumben, natal lalu tidak mengunjungi papa kamu. Kasihan sekali beliau, pas ke Gereja wajahnya agak murung, tidak seperti biasanya, kala kamu ada. " cerocos Kei. Allan tercenung mendengarnya. Begitu berartikah dirinya bagi papa-nya. Ternyata masih ada yang lain yang merindukannya. Papanya! Ya, pria setengah baya yang telah mengukir raganya. Sudah satu tahun lebih tiga bulan dia dia mengunjunginya. Sudah satu tahun tiga bulan dia tidak mencicipi sandwich telor bikinan tante Jane, mama tirinya yang baik hati  itu.
Dan..Oo…sosok yang duduk di belakangnya itu ternyata semakin manis. Sepintas wajahnya mirip Miho Nakayama, bintang iklan Kose, kosmetik dari Jepang. Mata-nya pun tidak sipit seperti kebanyakan cewek jepang. Rambutnya yang lurus sebahu di biarkan tergerai. Semerbak harumnya terterpa angin yang masuk melalui jendela kereta. Rambut itu dulu hitam kelam. Tapi kini sudah di highlight dengan warna kecoklatan. Amat serasi dengan kulit putih dan bibir merah alaminya. Asia sekalee….
" Hey, liat apa kamu?. Kan kamu sudah tahu dan yakin kalo aku Kei, sahabat kecilmu dulu," Kei mengibaskan tangannya didepan wajah Allan.
Doi terhenyak sambil cengar-cengir, " Habis, kamu tambah cantik sih. "
" Hus! Siang-siang main rayu seenaknya! " Kei pura-pura marah.
" Emang kalo malam boleh merayu? " Goda Allan.
" Ih! maunya.." Tukas Kei. Terdengar ledakan tawa muda-mudi itu. Beberapa penumpang melirik sebal. Mereka tak peduli.
                                                                                         ***
Sore yang indah. Tak ada segumpal awan pun dilangit yang bersemu kemerahan di terpa sinar matahari sore. Allan menggeliat. Enak sekali tidurnya. Sakit kepalanya sudah banyak berkurang. Hidung Allan kembang-kempis mencium aroma harum Cappucino. Aha! Pasti tante Jane yang nyeduh. Buru-buru Allan bangkit dan menuju meja makan. Disana sudah menunggu orang-orang yang dicintainya. Ada Papa, Tante Jane, Dan kedua adik tirinya. Yang satunya, yang besar, bernama Juan, berumur dua puluhan. Kuliah di Jerman, di Bayeriche teknikum Universitiet. Dia pulang tiap akhir pekan saja, seperti sekarang ini.
Yang satunya lagi, Aih..aih..si kecil Imanuel. Cowok mungil berambut pirang dan berawajah segar itu memandangnya dengan seulas senyum tulus, khas senyum seorang bocah. Allan berlari kecil dan menciumi Iman berkali-kali. Setelah itu dipandanginya wajah polos itu. Iman masih saja mengulum senyum senangnya.
" How are you my lovely litle brother? "
" Fine, and you? Aku dengar kalian bertengkar lagi ya? Sampai kapan kalian akan terus-terusan seperti itu, " Ucapan Iman terdengar polos dan menggemaskan. Tapi substansi kalimat itu membuat Allan terhenyak. Siapa yang ngajari anak ini. Ini pasti kerjaan mama yang ngasih kabar papanya via telpon perihal pertengkaranya dengan Vivi.
Allan mencubit pipi Iman dengan gemas. " Lain kali jangan pernah tirukan ucapan orang tua anak manis…" Allan pura-pura murka.
" Nah kan, papa dibilang sudah tua.." Iman menoleh papanya. Ruang makan itu lalu riuh oleh tawa. Rame dan segar.
Ah..nggak seperti kondisi Allan di rumah mamanya yang sepi. Tiba-tiba Allan menjadi kasihan memikirkan mamanya yang kini sedang sendiri bersama Mbok Yem, Papa tirinya sibuk, adik tirinya, kuliah di Sydney.. Malang nian nasib Wanita yang telah melahiraknnya itu. Allan nelangsa.
" Al, katanya sudah kangen ama Capucino tante Jane, " Papa mengingatkan.
Allan pun mengambil duduk di depan Juan. Adik tirinya itu susah payah berbahasa indonesia ria, " apa kabal Al? " Juan menyalami Allan.
" Baik, gimana kuliah kamu? "
" Nggak ada masalah. Kamu masih balapan? "
Allan garuk-garuk kepala sambil melirik papanya. Dia ngerasa sungkan sama papanya. Dia takut kalo dikira kerjaannya sebagai prorammer tidak serius dan hanya memikirkan balapan.
" Nggak pa-pa kok kalo masih balapan. Toh kamu tahu mana yang terbaik bagi dirimu, " Ucap papa seolah mengerti apa yang ada di benak Allan.
" Iya sih pa, saya senang papa masih seperti dulu, masih mendukung Allan, " Allan menunduk, papanya menepuk punggung Allan. Selaksa damai menyelimuti hati anak muda yang sering merasa kesepian itu .
Telepon di ruang tengah berdering, si Iman berlari mengangkat. Suaranya lucu, " Hello..Yes..O, wanna talk with Allan? Wait a minute. Allan….somebody wanna talk to you! "
" She, or he? " Tanya Allan yang ternyata sudah berdiri di belakang Iman.
" Yeah…she’s kei.." Iman mengangsurkan gagang telepon sambilberlari cekikikan.
" Hello kei.." Sapa Allan.
" Hello Allan, sedang apa kamu? " Suara di seberang terdengar renyah.
" Lagi coffe break bareng. "
" O…anyway, I wanna take arround to town with you. Will we? " Ajak kei.
" Mmm…aku minta ijin papa dulu ya.."
" Oke, saya harap beliau mengijinkan kamu keluar dan melupakan sejenak kerinduannya terhadapmu..hehehe. "
Sesudah menutup pembicraan segera Allan menuju meja makan lagi.
" Pap, Kei ngajak jalan, boleh nggak? "
" Iya, tapi Tante susah payah menyeduh capucino buat kamu, diminum dulu toh.." Ucap papanya dengan logat jawa campur aksen jerman yang payah hhahah... Tante Jane hanya tersenyum, senyum tulus. Khas senyum seorang Ibu, walau hanya ibu tiri.
Allan pun duduk menghirup capucino-nya. Sakit kepalanya sudah hilang sama sekali, membayangkan wajah manis Kei. Kei..yah kei. Hmm…seandainya dulu dia bisa menyayanginya, tentu lain ceritanya.
Bukankah sekarang masih ada waktu untuk mencintainya? Ah, tidak..tidak! Kemelut cintanya denganVivi belum selesai benar. Masih mengambang dan terombang-ambing oleh keadaan. Bagaimanapun juga, dia masih menyayangi Vivi, sangat menyayangi.
" Nglamun apa Al? " Suara papanya.
" Ah..enggak..nggak kok pa, cuma menenangkan pikiran aja, " Allan melirik cangkirnya, sudah hampir habis. Berarti dia harus segera pergi menemui Kei.
" Gimana kabar Vivi? " Papanya rupanya cukup peka, sambil membuka halaman majalah dia nyindir Allan.
Allan hanya mendesah, " Pa, aku lagi malas ngomongin dia, nanti saja Allan cerita, please. "
Papa rupanya cukup mengerti kondisi anak sulungnya itu, " YA sudah, temui Kei sana. Dia kangen juga mungkin, " Papa menyimpan senyum simpulnya. Beliau jadi teringat masa mudanya yang doyan cewek. Like father like son,Bah…
***
Allan memarkir sepeda gunung yang dipinjam dari Juan disisi patung Mozart, di mozart Square. Sore itu seperti bisanya. Banyak orang duduk disana. Tak terlalu banyak kendaraan bermotor disana. Kereta kuda pun masih ada. Suasanya khas sekali daratan Eropa. Dari kejauhan tampak lampu-lampu di menara kastil. Suasana memang sudah mulai tampak redup Disini memang banyak sekali kastil. Mereka menyebutnya dengan Schloss.
Ngomong tentang Schloss, Allan jadi teringat pada pertemuannya dengan Kei waktu pertama kali. Allan yang saat itu masih culun main-main di sebuah Schloss yang bagian ruang tengahnya sering digunakan untuk main teater. Scloss leopoldskron namanya. YA, disitulah mereka pertama kali bertemu!
" Hei! " Terdengar seruan yang membuyarkan lamunan Allan, suaranya khas. Allan mencari sumber suara itu. Kei. Dia tengah tersenyum manis diatas Jetmatic-nya.
" Kei…." Allan melambaikan tangannya. Kei pun mendekat bersama Jetmaticnya.
" Kamu sombong sekali sih, nyalip nggak liat-liat.." Kei mencubit lengan Allan. Allan pura-pura mengaduh.
" Habis, kamu kelewat kecil sih…." Goda Allan.
Kei cemberut.
" O ya, ada sedikit oleh-oleh. Maunya sih buat papa, tapi papa cuma ambil sebagaian aja, Allan menuju sepeda gung dan menarik kantung plastik yang menggantung pada setang sepeda. Ditangannya tampak sebungkus kripik Tempe khas kota Malang.
" Enak untuk teman minum bir, " Allan menyodorkan kripik itu.
" Wah, aku amat suka makanan ini. Dulu papamu pernah ngasih aku waktu aku habis jalan-jalan bersama Juan, " Mata Kei berbinar senang.
" Juan? Kalian sering jalan bareng ya? "
" Tidak juga, " Kei membuang pandang. Ada sesuatu yang di sembunyikan.
Allan duduk di bangku taman. Diikuti Kei. Semerbak harum rambut Kei masih seperti kemarin. Mereka duduk dengan jarak setengah meter. Jantung Allan berdebar keras manakala menghirup aroma Kei yang harum.
" Al, kamu cerita-cerita dong.." Pinta Kei manja.
" Cerita apaan? " Allan mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya.
" Anything lah, yang kamu alami selama setahun setalah kita tak jumpa. "
" Mmm..terlalu panjang kayaknya. Bagaimana kalo kita mengenang lagi saja pertemuan pertama kita. Waktu itu di Schloss leopoldskron…"
" Kamu yang waktu itu masih culun bingung kan..? " Potong Kei membuat Allan ngakak.
" Hahahah…"
" Di Schloss leopoldskron masih sering ada pertunjukan teater lho. "
" Kamu masih sering berlatih teater disana? " Tanya Allan setelah menghisap rokok putihnya.
" Hmmmm…sekarang tidak lagi, " Nada suara Kei berubah berat. Allan menoleh kearah Kei. Yang dipandangi tengah menunduk. Sepasang kelewar terbang rendah tepat diatas kepala mereka.
Hari sudah benar-benar gelap ketika mereka beranjak pulang.Begitu sampai Allan langsung memarkir sepda dihalaman. Tak lama setelah Allan masuk, telepon di ruang tengah berdering, Allan menagangkat, terdengar suara Kei disana, " Hello, May speak with Allan? "
" Yup, it’s me! " Allan langsung tahu itu suara Kei.
" Al…" Suara itu tampak ragu.
" YA? "
" Aku sebenarnya mau mengucapkan sesuatu, tapi aku nggak bisa…" Kei menghentikan kalimatnya sebentar. Lalu, " Al…aku telah menyakiti perasaan adik kamu. "
" Mean ? " Allan tak mengerti. Kei mendesah sebentar, mengatur nafas.
" Al, tadi aku sempat katakan ke kamu kalo aku dan Juan dulu sering jalan kan? "
" So? "
" Yah…kamu bisa memperkirakan sendiri kan, Juan naksir aku… "
" Normal kan, kalo ada cowok naksir cewek. Apalagi ceweknya secantik kamu? "
" Al, jangan potong kalimat saya, dengarkan dulu. "
" Oke, go on.."
" Aku tidak bisa menerima cintanya. "
" Kenapa? Kamu sudah punya pacar? "
" Al! Kamu bisa bersabar sebentar tidak sih? Dengarkan saya cerita! " Kei tampak gusar.
" Sorry, " Sesal Allan.
" Kamu merasa tidak, ketika pertama kali kita ketemu dulu? Aku sudah tertarik sama kamu. Kalo tidak, ngapain aku ngantar kamu pulang waktu mabuk? Kamu merasa tidak, kalo aku suka berlama-lama memandangi wajah kamu, waktu itu kamu gugup kan? " Kei kembali mengingatkan masa lalu mereka.
Yah, waktu itu seperti itulah keadaanya. Tapi Allan nggak pernah berfikiran bahwa ternyata kei menyukainya. Lagian nggak ada alasan tepat untuk membayangkan yang tidak-tidak. Allan ngerasa nggak seganteng Juan, adik tirinya yang setengah bule itu. Allan mengira yang terjadi diantara mereka, dia dan Kei, biasa aja. Persahabatan murni.
Memang sih, Kei suka berlama-lama memandanginya. Tapi itu kan wajar, masak ada orang ngeliat aja langsung ge-er. Dan memang, Kei penuh perhatian terhadapnya. Tapi Allan mengira perhatian biasa dari seorang sahabat.
Tapi kini Allan sadar sudah dengan apa yang terjadi terhadap kei, juga dirinya. The Triangle Love.
Annoying!
Tapi kenapa Kei tertarik dengan Allan? Itu yang membuat Allan tidak habis pikir. Allan merasa tidak ada yang istimewa dengan dirinya. Allan merasa Juan lebih layak mendapatkan seorang Kei.
" Al.." Suara di seberang terdengar pelan.
" I..iya.." Allan gugup.
" Maaf, kalo aku mengatakan yang sebenarnya. Tolong sampaikan maafku ke adik kamu, mungkin aku telah menyakitinya. "
" Kei.." Allan tidak dapat melanjutkan kalimatnya.
" Al, kamu disana sudah mempunyai pacar? "
" Memangnya Juan tidak cerita? "
" Aku tidak pernah menanyakan ini pada Juan. Kalo tanya tentangmu paling-paling hanya soal hobby balapmu. Atau kapan kamu ke sini..itu saja " Tandas Kei.
" Lalu, apa menurut kamu aku sudah punya pacar? " Allan ganti bertanya diplomatis.
" Kalo aku bisa menebak,tentu saja aku nggak bakalan tanya. "
" Hahahahha…bisa saja kamu. " Habis tertawa Allan garuk-garuk kepala. Nggak tahu mesti kasih jawaban apa. Akhirnya hanya helaan nafasnya yang terdengar berat. Ingatannya melayang ke suatu tempat yang jauhnya ribuan mil. Dan wajah Vivi jelas tersenyum dalam benaknya.
" Al…aku tidak perlu jawaban kamu, yang jelas disini aku selalu merindukan kamu, " selesai berkata demikian Kei menutup pembicaraan.
Allan jadi bingung. Beginikah cara cewek menyampaikan perasaannya? Dulu, waktu dia jadian ama Vivi tidak begini. Vivi tidak secara langsung menyampaikan perasaannya. Waktu itu Allan yang meminta Vivi jadi pacarnya, dan Vivi hanya mengangguk, sebagai isyarat kalo dia mau. Hanya itu yang bisa dilakukan Vivi, karena dia gugup dan tidak bisa berkata apa-apa.
Allan hanya termangu untuk beberapa saat lamanya. Tidak ada yang dapat dilakukannya. Toh pada dasarnya dia tak ingin melakukan apa-apa kecuali hanya duduk di kursi yang ada di sisi meja telepon.
Bayangan Kei melintas di depannya sambil tersenyum manis.
Cantik sekali wajah itu. Senyum di bibir merah merekah itu membuat Allan…
Hus!!! jangan ngeres
Allan berusaha mengusir bayangan nakal yang sempat menghinggapinya. Sampai pada suatu kesimpulan dalam benak cowok badung itu, bahwa dia hanya bisa menilai bahwa Kei memang benar-benar cantik, tapi tidak bisa mencintainya. Karena cintanya memang sudah diberikan pada Vivi. Memang sih, dia belum bisa memastikan apa hubungannya dengan Vivi bisa dilanjutkan atau tidak. Tapi setidaknya saat ini dia masih belum bisa mencintai yang lain, itu saja.
Tak lama kemudian terdengar bunyi SMS pada ponsel-nya. Allan membuka kotak pesan dan membacanya.
‘Al, kapan kamu kembali ke Indonesia’ Dari Lina…
Sosok yang satu ini hampir saja terlupakan oleh kemelut-kemelut kecil dalam hidupnya. Ah, kenapa dia jadi melupakan sobat satu ini. Dia kawan yang baik. Yang paling rajin memberi semangat tatkala Allan memacu motornya dilintasan balap. Yang paling cerewet kalo Allan suka telat makan. Yang paling bawel kalo Allan telat latihan. Maklum, dia anak Bos Team Road Race tempat Allan mengabdikan diri sebagai pembalap.
Rindukah Allan pada sosok mungil itu?
Bah!!!
Allan hanya bisa tersenyum kecut. Mengapa begitu banyak wanita hadir dalam hidupnya? Tiba-tiba tercium aroma rendang. Ah, pasti pekerjaan tante Jane ini. Memang, tante Jane pernah tinggal di Indonesia beberapa tahun lamanya. Dan sebagai wanita yang Hobby masak, tentu saja kesempatan itu digunakan untuk mempelajari masakan-masakan Indonesia, termasuk rendang salah satunya. Itu makanan kesukaan papa Allan.
Bergegeas Allan menuju dapur.
" Wah..baunya sedap sekali Mom, "
" Hi Al..Iya, malam ini Tante masak rendang khusus untuk kamu dan papamu. Juan tadi pergi makan diluar bersama teman-temannya. Kamu sudah bertemu Kei? "
" Sudah tante. "
Tante Jane meletakkan piring yang sudah dituangi rendang diatas meja dapur, lalu menoleh kearah Allan. " Al, Kei ngomong sesuatu padamu? " Wajah Tante Jane penuh selidik.
Air muka Allan berubah. " Tante sudah tahu semuanya? "
" Yah..tante nggak menyalahkan dia. Kalian bertemu disaat dia mengalami masa puber…" Tante Jane melepas kacamata-nya.
" Tapi saya telah mencintai…."
" Vivi maksud kamu? Al, tante juga sudah dengar semua tentang dia dan kamu dari mama kamu. "
Keduanya terdiam beberapa saat.
" Sayang Kei terlambat…" Desis Allan pelan.
" Kei gadis yang cantik dan baik Al, mamamu pasti akan menyukainya. Cobalah suatu saat ceritakan tentang Kei kepada mamamu. "
Allan berfikir.
Menceritakan mama? Ah, apa bisa mama menerima kenyataan ini, bahwa dia harus putus dengan Vivi?
" Hubungan kami masih mengambang tante. "
" Hubungan kamu dengan Vivi maksudmu? " Tante Jane berlalu dari hadapan Allan sambil membawa piring berisi rendang menuju meja makan. Allan membuntuti dan duduk di meja makan. Kini mereka duduk semeja berhadapan sambil menunggu papa Allan yang lagi ngajak main Si Imanuel di depan Tivi.
" Al..sebelum kamu ambil keputusan, pikirkanlah baik-baik semuanya…."
" Tapi tante, bukankah Juan pernah naksir Kei? Kan nggak enak ama Juan. Bagaimanapun, dia kan adik Allan.." Allan tiba-tiba teringat Juan.
Tante Jane hanya tertawa ngakak. " Allan..Allan…Juan itu cinta monyet. Bayangkan, kemairn dia ngomong cinta sama sia A, sekarang dia ngomong cinta si B. Nah, begitu juga kasus-nya dengan Kei. Sekarang lihat dia, keluar sama teman-teman ceweknya…hahaha.."
Allan hanya garuk-garuk kepala. Ternyata semua seperti papanya. Allan meringis dalam hati.
" Bagaimana? " Tante Jane meminta pertimbangan pada Allan.
" Tante, Allan masih sayang Vivi. Kalo sekedar mengenalkan Kei sama mami sih nggak masalah, tetapi itu bukan berarti Allan perpindah hati pada Kei, " Tandas Allan mantap.
" Ya sudahlah kalo itu keputusan kamu. Tapi Kei benar-benar masih menyimpan cintanya untukmu, anakku.." Kata-kata Tante Jane diringi pandangan penuh kasih dari seorang Ibu itu membuat Allan benar-benar terharu. Apalagi ditambahi kata ‘ anakku’. Suatu kalimat yang jarang diucapkan ibu tiri.
Enam bulan berlalu sudah.
Tak ada liburan yang tak berakhir. Oups! Bukan liburan. Allan memang sengaja menyetop segala rutinitasnya, mulai dari nulis, programming, sampai balapannya. Resikonya, dia harus puas melihat Leo, rekan setimnya menggondol juara Umum Seeded A region Jawa di roadrace. Dan istirahat dari balap selama pergi, gak meraih gelar untuk tahun ini gak papa. Toh semua orang udah pada tau siapa Allan, si Dewa road race.. Penginya waktu itu sih untuk berpisah dengan Vivi selama beberapa bulan, barangkali setelah pisah Mereka dapat saling memahami satu sama lain..
Kenyataannya?
Selama itu nggak ada satu SMS-pun yang dikirim Allan dijawab Vivi. Juga ketika di telpon, selalu tidak ada. Mulanya Allan tak ambil peduli. Kan pas mau pergi dulu mereka emang udah putus. Tapi lama-kelamaan rasa kangennya mengalahkan segalanya. Dia pengin cepet-cepet ketemu Vivi lagi.
Tapi untuk apa?
Kata sisi lain hati Allan. Menanyakan lagi kejelasan hubungan mereka? Oh tidak! Gengsi dong ah! Kan waktu di bandara dulu itu Allan udah ngomong, akan kembali lagi sebagai seorang sahabat, bukan yang lainnya. Rupanya gengsi Allan mengalahkan akal sehatnya.
                                                                               ****
Sementara nun jauh disana Vivi sedang duduk manis berhadapan dengan seorang cowok di meja sebuah kafe. Mereka tampak mesra. Sesekali terdengar tawa mereka. Sesekali terdengar dehem Vivi, untuk menghilangkan gugup. Terus terang inilah pertama kalinya dia keluar sama cowok selain Allan.
" Hmm…ngomong-ngomong, nggak ada yang marah nih kalo aku keluar ama kamu? " Tanya cowok bernama Andrew itu.
" Cowokku maksudmu? " Vivi menghirup minuman kesukaannya, milkshake Vanila.
" Iya. "
" Aku nggak kepingin ngomongin dia. Lagi nggak mood. "
" Eh, Vi, kamu ingat nggak waktu aku nyanyiin lagunya Guns and roses pas upacara bendera selagi kita masih SMU dulu, " Vivi tertawa mendengar guyonan Andrew yang ternyata temannya sewaktu Smu dulu itu.
" Badungmu dari dulu nggak hilang-hilang An.." Vivi melap bibirnya dengan tisyu. Andrew membantu mengusap bibir Vivi dengan lembut. Vivi diam, tidak berusaha menolak. Selama ini hanya Allan yang biasa melakukan itu Itupun nggak terlalu sering, Allan kurang romantis memang.
" O ya Vi, pas aku mo balik ke Amrik nanti, kamu bisa ikut ke bandara nggak? "
" Mmm…memang belum ada yang antar nih? "
" Hahahah…sampai sekarang belum laku, Vi. "
Vivi berusaha menatap Andrew dalam-dalam, berusaha mencari kejujuran disana. Dan kejujuran itu memang ada, terpancar dari matanya. Andrew menyibakkan rambut gondrongnya dan mengikat dengan karet.
Tiba-tiba Vivi jadi teringan Allan. Ah, sedang apa dia? Bagaimana pun, Allan telah mengisi relung-relung hatinya, mewarnai hari-harinya. Akankah aku menyakitinya? Vivi bertanya-tanya dalam hati.
" Are you okay Vi? "
" Yup, tapi aku sedikit capek, bagaimana kalo kita pulang saja.."
" Oke"
mereka lalu keluar dari kafe itu. Andrew mengantarkan Vivi sampai di depan rumah. Vivi menolak ketika Andrew hendak mengecup keningnya. Belum waktunya. Vivi masih butuh satu kepastian hubungannya dengan Allan. Dan kepastian itu haruslah mereka berdua yang memutuskan. Tidak bisa secara sepihak. Karena bagaimanapun mereka berdua masih saling menyayangi dan membutuhkan.
Sesampainya di kamar Vivi menumpahkan air matanya. Tidak tahu air mata untuk siapa, dan kenapa dia harus menumpahkan air matanya. Yang dia tahu hanya kepingin nangis. Menumpahkan segala kesesakan yang sering kali menghimpit dadanya. Tiba-tiba HP cewek itu berdering.
Unknown caller
Berarti dari luar negeri. Jantung Vivi berdetak keras, " Hello.." Ucapnya gemetar.
" Vi.." Terdengar suara yang amat di kenalnya..
" Al, eh…ka..kamu Allan..? "
" He-eh, kamu Vivi kan? " Allan berusaha ngocol, membuat Vivi lupa, bahwa dia sering jengkel ama cowoknya itu.
" Kamu kapan kembali Al? " Ucap Vivi penuh harap.
" Kenapa Vi? Masihkah kamu mengharapkan aku kembali? "
" Al…"
" Vi, kamu baik-baik saja kan disana? "
" Aku nggak pernah merasa lebih baik tanpamu Allan…" Air mata Vivi meleleh lebih deras.
Diujung sana, di jarak ribuan mil, Allan tidak bisa apa-apa. Tenggrokannya terasa kering. Dia mendadak pengin banget ketemu sosok mungil yang selalu membayangi setiap langkahnya itu, walau kadang dia merasa seakan langkahnya terjegal karenanya. Tidak apa-apa, toh cinta akan membuat semuanya menjadi beres.
" Vi.."
" Al..katakan bahwa kamu akan kembali untukku lagi, katakan Al.Aku rindu kamu…."
" Vi, miss you…" Desis Allan lemas, dia merasa sangat berdosa sekali telah meninggalkan Vivi seorang diri.
Sesudah pembicaraan berakhir. Vivi duduk disamping meja telpon, persis seperti yang dilakukan Allan. Tiba-tiba telpon di samping Vivi berdering.
" Hallo.." Terdengar suara khas Andrew..
" Hallo An.."
" Gimana Vi, kamu jadi ngantar aku pergi kan ntar? "
" Sorry an, nggak bisa. Aku ada urusan penting sekali, " Jawab Vivi mantap Dia sudah nggak pengin ke lain hati.
" Vi, kok jadi nggak mau? Ayolah Vi, demi masa lalu.."
" Demi apapun ngak bisa An! " Tandas Vivi. Tiba-tiba dia kesal sama Andrew.
Dan, Klik.
Telpon di tutup tiba-tiba.
Disaat yang hampir bersamaan, Allan tengah menemui Kei ditaman kota, disisi patung Mozart.
" Kamu besok akan meninggalkanku Al? " Suara Kei tergetar.
" Hmmm…" Allan nggak bisa jawab, nggak tega.
" Al.. "
" Kei, setahun lagi kita ketemu kan? "
" Al, haruskah aku menyimpan rinduku sedemikian lama..? "
Allan jadi bingung. Dia nggak tega ninggalin Kei jadinya. Padahal dia kangen Vivi.
" Kei…percayalah, aku akan datang tiap tahu..dan akan terus kontak kamu. Ini kan era Teknologi informasi. Kita tetap dapat berhubungan dengan mudah dan murah, aku akan kirim SMS tiap hari deh.." Allan berceramah.
" I want you Allan, I want you! I don’t wanna lose you anymore! " Kei menggenggam tangan Allan erat-erat, seolah tak ingin di lepas.
Allan merengkuh pundak Kei, membelai rambutnya dan meremas mesra jemari Kei. Dari sikapnya jelas kelihatan kalo Allan ngasih harapan buat Kei. Kei menyandarkan kepalanya di dada Allan.
Damai di hati Kei, gundah dalam dada Allan. Berkali-kali cowok itu menghela nafas berat.
" Al, kita jalan-jalan yuk.." Ajak Kei.
" Kemana? "
" Menyusuri trotoar, seperti yang pernah kita lakukan dulu. Tanpa meminta persetujuan allan, kei beranjak. Allan mengikuti langkah Kei. Berdua mereka menyusuri pertokoan kota kecil nan tenang itu. Langkah mereka seirama. Di sebuah butik Allan berhenti, menatap sebuah gaun anggun yang ada di etalase, Rancangan designer terkenal, Versace. Lalu mata Allan berpindah kearah Kei. Seolah ingin mencocokkan warna gaun itu dengan warna kulit Kei.
"Kenapa Al"
" Kamu suka gaun itu? " Allan menunjuk etalase. Kei mengangguk sambil menggigit bibirnya.
" Wait, " Alan masuk ke butik, 15 menit kemudian kembali dan membawa bungkusan.
"Es ist fur Sie " Ucap Allan sambil merengkuh pundak Kei dan mereka jalan lagi.
                                                                   ***
Keesokan harinya, sebelum ke frankfurt, Allan menyempatkan diri ke A1 rings nyusul papanya. Sekedar pamit dan pengin ngeliat lagi tugas papanya sebagai petugas yang bertangungjawab terhadap keamanan dan kelayakan sirkuit menjelang balapan. Kebetulan minggu depan A1 rings mendapat giliran menyelenggarakan DTM,Deutsch Turismo Motorenwagon sebuah balapan mobil-mobil touring buatan jerman.
Sebelum balapan, papanya mengecek segalanya yang berkaitan dengan kesiapan sirkuit. Tak boleh ada satu kerikilpun ada di lintasan, demi keamanan. Setelah semuanya beres, biasanya papa Alan berkeliling mengendarai safety car. Untuk meyakinkan bahwa sirkuit benar-benar siap pakai.
Seperti pagi itu.
" Papa Allan tengah mengitari sirkuit menggunakan sepeda balap." untuk memastikan lintasan bersih untuk digunakan balapan di akhir pekan.kalau memakai skuter kita kurang seksama.Tapi dengan sepeda kita bisa lebih bisa fokus melihat kondisi lintasan" alasan Papa Allan
" Something wrong, son?" cecar Papa Allan mendapati wajah anak sulungnya 'aneh'.
Pas di paddock, papa memandangi Alan dengan seksama.
" Jam berapa kamu take off? " Sambung si papa,karena sia-sia menanyakan sesuatu yang tidak akan pernah mendapat jawaban.
" Elo kan orang tua,elo pernah muda juga.kenapa menanyakan hal bodoh ini," ucap Allan dalam hati,hanya dalam hati.karena kalau pertanyaan itu meluncur beneran sebuah Upper Cut akan mendarat di dagu bekas petinju itu.hehehehe
" Dari sini jam 2 siang, menuju Frankfurt, lalu jam Lima waktu Frankfurt Allan udah ciao. " Allan mencabut sebatang rokok putih dan menghisapnya.
" Sesuatu membuatmu gelisah. Saya harap ini nggak ada hubungannya dengan gadis-gadismu. "
" Harapan papa meleset. Aku telah mengecewakan Kei. "
" Itu bukan salahmu, kalian bertemu di waktu yang tidak tepat.She's just wrong woman,in the wrong time and wrong place. Jangan salahkan dirimu terus-menerus. Sebaiknya kamu bersiap-siap sekarang. Auf wiedersehen sohn…" Papa merangkul Allan penuh haru.
                                                                    ***
Pagi yang cerah di kota yang semrawut. Jarum jam menjukkan pukul delapan pagi. Allan menyeret tasnya di koridor bandara. Wajahnya kuyu. Perbedaan waktu dan tekanan gravitasi membuat capek sekujur tubuhnya.
Dari pelataran parkir, sesosok mungil keluar dari peugeot 206nya warna merah centil. Berlari-lari kecil mwenuju terminal kedatangan luar negeri. Nafasnya terengah-engah. Matanya mencari-cari seseorang, " Allannnn…!!!" Teriaknya nyaring, suaranya seperti mo ngalahin Axl rose, hehehhe
Allan menoleh, dan menghambur ke arah Vivi.
" Vi.." Allan mendekap Vivi haru. Vivi meneteskan airmatanya bahagia, dan haru tentunya. Cowoknya telah kembali lagi.
" Al, I don’t wanna lost you anymore…" Suara Vivi tergetar diantara isaknya.

" Iya vi, aku gak bakal ninggalin kamu lagi…" Alan mengusap lembut rambut vivi yang harum. Sejenak bayangan Kei melintas. Buru-buru Allan mengusirnya.
                                                                                         ****

Post a Comment

[blogger]

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget